Singkat saja yaa.
Ini yang dicritakan itu tentang kisah kekonyolan sahabat plus kisah cinta.
Hahaa.. aku gadis normal. Wajarlah aku menyukai lawan jenisku J
“Neng, ban becak
gowesnya bocor tuh”. Seru tukang becak yang baru melintas didepan kita. Aku
bersama 3 temanku bernama Adel, Ifa, Ninis sontak melihat ban yang saat itu
juga sedang dilihat si Pak Becaknya tadi. Aku satu satunya yang tidak percaya
akan hal itu. Namun, dugaanku salah ban becak gowes itu memang terlihat loyo
tak bertenaga. Sontak saja, aku tertawa lepas.
Ku lihat disana,
digerdu berwarna hijau laut terlihat 2 pria sedang asik memakan cilok yang ada
ditanganya. Samar samar aku lihat salah satu orang disana adalah Aris, bukan pacar sih tapi kita tau kalau
kita saling suka sama lain. Pria satunya, tinggi kurus mungkin umurnya sekitar
25 keatas. Aku tak tau persis. “Riiisss Ariiiss. Mrinioooo”. Ifa dengan suara
lantangnya dan menggagalkan pengamatanku tentang 2 pria tersebut. Otomaticly.
Pria kecil berusia seumuranku berjalan dengan gaya sangkuknya kearah becak
gowes kami. Whaaattt?? Dari matanya aku mengenali pria ini. “onok opo he?”.
Ucapnya dengan suaranya. Aku masih bengong melihatnya. “Balikno ke orangnya
aeh”. Seketika itu pria satunya datang lagi kearah kami. “Mas yanto?”. “oalah
anak.e pak manap ta iki?”. Tanpa basa basi, aku menurut perintahnya aris. “Mas,
puter balik ke orangnya dong?”. Orang itu memutar balik si becak gowes. “Bang,
orang itu tau tentang kita?”. “Iya dong”. Jawabnya dengan semangat. Hey,
hubungan kita ini ayahku ga tau lho. Terseralah lah
Ini adalah becak
gowes pertamaku dan teman teman. Tapi tidak untuk Ninis. Gadi kecil berambut
panjang inilah supir kami. Dia bisa enyupir becak gowes dengan baik. Tidak
untuk tikungan. Kami semua harus turun. Karena takutnya. Ngakaklah aku ketika
melihat temenku, lili. Gadis yang baru naik ini berwajah sedikit bulat dengan
baju panjang semacam jubah berbahan kaos. Dia berteriak sekuat tenaga untuk
menahan rasa takutnya. Jubahnya yang menyangkut diantara rantai rantai hitam
yang membuat bajunya berubah hitam. “apes”. Satu kata untuk malam itu.
Tidak bagi adel.
Gadis kurus bermata sipit itu terlihat tenang. Baginya hanya becak gowes yang
membuat dia tertawa. Sesekali dia bilang
ini adalah malam yang dingin. Dia hanya asik mengayuh becak gowesnya dan
memandang sawah yang terbentang gelap.
Untuk ifa, gadis
berambut blonde yang tergerai mengenai jaket abu abunya itu adalah gadis yang
tertawaya pualiing melengking diantara kami. Ada ada saja yang membuatnya
tertawa. Dia duduk dibelakang bersama adel, lili yang memangku adek mbak irun.
Mbak irun, gadis
memakai kaos ungu, rambutnya dikuncir rapi ini duduk disebelahku. Asyik
mengayuh becak gowes. Dia sepertinya mengeluh dengan kakinya yang sedikit
pegal. Maklum dia adalah pekerja handal yang baru saja dipijat oleh tukang
pijat panggilan kampung kami.
Aku, ratu diantara
penumpang. Karena tidak mengayuh sedikit pun. Pulangnya aku membawa sepeda. Yang
lain jalan kaki. Karena aku membawa adeknya mbak irun, aku membawa sepeda degan
kecepatan sedang. Dari kejauhan aku melihat seseorang bersepeda. Memakai sarung
dan baju kokoh putih. Benar dugaanku. Aris. Dia mengantarkanku pulang hingga
ujung gang.
Disepanjang jalan,
dia hanya bercerita tempat angker. Bulu kudukku merinding ketika tepat di depan
kantor PMI. Tapi aku hanya mengalihkan pembicaraannya. Tentang kulitnya yang
gatal. Seperti selulit. Dia memamerkan kulitnya yang baru. Namun ia mengaku ini
sudah agak mending dari kemarin. Namun, alihan pembicaraan ini hanya sebentar
saja. Tepat diujung gangku Aris kembali menceritakan tempat angker. Aku berniat
balaas dendam. Namun gagal. Dia sepertinya ga takut ketika aku menakut
nakutinya “Awas ada yang ngikut nggonceng”. “Ga wedi”. Dia tau bahwa aku hanya
menakut nakutinya. “Hati hati”. Dia hanya melambaikan tangan.