Becak Gowes pun Punya Cerita Tentang Kita (Part One)


Singkat saja yaa. Ini yang dicritakan itu tentang kisah kekonyolan sahabat plus kisah cinta. Hahaa.. aku gadis normal. Wajarlah aku menyukai lawan jenisku J

“Neng, ban becak gowesnya bocor tuh”. Seru tukang becak yang baru melintas didepan kita. Aku bersama 3 temanku bernama Adel, Ifa, Ninis sontak melihat ban yang saat itu juga sedang dilihat si Pak Becaknya tadi. Aku satu satunya yang tidak percaya akan hal itu. Namun, dugaanku salah ban becak gowes itu memang terlihat loyo tak bertenaga. Sontak saja, aku tertawa lepas.

Ku lihat disana, digerdu berwarna hijau laut terlihat 2 pria sedang asik memakan cilok yang ada ditanganya. Samar samar aku lihat salah satu orang disana adalah  Aris, bukan pacar sih tapi kita tau kalau kita saling suka sama lain. Pria satunya, tinggi kurus mungkin umurnya sekitar 25 keatas. Aku tak tau persis. “Riiisss Ariiiss. Mrinioooo”. Ifa dengan suara lantangnya dan menggagalkan pengamatanku tentang 2 pria tersebut. Otomaticly. Pria kecil berusia seumuranku berjalan dengan gaya sangkuknya kearah becak gowes kami. Whaaattt?? Dari matanya aku mengenali pria ini. “onok opo he?”. Ucapnya dengan suaranya. Aku masih bengong melihatnya. “Balikno ke orangnya aeh”. Seketika itu pria satunya datang lagi kearah kami. “Mas yanto?”. “oalah anak.e pak manap ta iki?”. Tanpa basa basi, aku menurut perintahnya aris. “Mas, puter balik ke orangnya dong?”. Orang itu memutar balik si becak gowes. “Bang, orang itu tau tentang kita?”. “Iya dong”. Jawabnya dengan semangat. Hey, hubungan kita ini ayahku ga tau lho. Terseralah lah

Ini adalah becak gowes pertamaku dan teman teman. Tapi tidak untuk Ninis. Gadi kecil berambut panjang inilah supir kami. Dia bisa enyupir becak gowes dengan baik. Tidak untuk tikungan. Kami semua harus turun. Karena takutnya. Ngakaklah aku ketika melihat temenku, lili. Gadis yang baru naik ini berwajah sedikit bulat dengan baju panjang semacam jubah berbahan kaos. Dia berteriak sekuat tenaga untuk menahan rasa takutnya. Jubahnya yang menyangkut diantara rantai rantai hitam yang membuat bajunya berubah hitam. “apes”. Satu kata untuk malam itu.

Tidak bagi adel. Gadis kurus bermata sipit itu terlihat tenang. Baginya hanya becak gowes yang membuat dia tertawa.  Sesekali dia bilang ini adalah malam yang dingin. Dia hanya asik mengayuh becak gowesnya dan memandang sawah yang terbentang gelap.

Untuk ifa, gadis berambut blonde yang tergerai mengenai jaket abu abunya itu adalah gadis yang tertawaya pualiing melengking diantara kami. Ada ada saja yang membuatnya tertawa. Dia duduk dibelakang bersama adel, lili yang memangku adek mbak irun.

Mbak irun, gadis memakai kaos ungu, rambutnya dikuncir rapi ini duduk disebelahku. Asyik mengayuh becak gowes. Dia sepertinya mengeluh dengan kakinya yang sedikit pegal. Maklum dia adalah pekerja handal yang baru saja dipijat oleh tukang pijat panggilan kampung kami.

Aku, ratu diantara penumpang. Karena tidak mengayuh sedikit pun. Pulangnya aku membawa sepeda. Yang lain jalan kaki. Karena aku membawa adeknya mbak irun, aku membawa sepeda degan kecepatan sedang. Dari kejauhan aku melihat seseorang bersepeda. Memakai sarung dan baju kokoh putih. Benar dugaanku. Aris. Dia mengantarkanku pulang hingga ujung gang.


Disepanjang jalan, dia hanya bercerita tempat angker. Bulu kudukku merinding ketika tepat di depan kantor PMI. Tapi aku hanya mengalihkan pembicaraannya. Tentang kulitnya yang gatal. Seperti selulit. Dia memamerkan kulitnya yang baru. Namun ia mengaku ini sudah agak mending dari kemarin. Namun, alihan pembicaraan ini hanya sebentar saja. Tepat diujung gangku Aris kembali menceritakan tempat angker. Aku berniat balaas dendam. Namun gagal. Dia sepertinya ga takut ketika aku menakut nakutinya “Awas ada yang ngikut nggonceng”. “Ga wedi”. Dia tau bahwa aku hanya menakut nakutinya. “Hati hati”. Dia hanya melambaikan tangan.

0 komentar:

Posting Komentar